Sabtu, 18 Juli 2009

Ada Sepotong Surga di Gunung Patuha


Seperti inikah Surga? Hening. Berkabut. Ada cahaya putih yang sangat kuat, menelusup ke dalam dada. Namun susah ditembus pandangan mata. Berdiri di tepiannya, yang terasa hanyalah kebesaran Sang Pencipta. Dia tampaknya sengaja, menurunkan sepotong surga ke pojok semesta, agar kita bisa sedikit merasakan kenikmatannya, di atas dunia.

Surga ini terletak di ketinggian 2300 meter di atas permukaan laut. Tepatnya di puncak Gunung Patuha, sebelah selatan Bandung, Jawa Barat. Adalah Dr. Franz Wilhelm Junghun, seorang pengusaha perkebunan di zaman Hindia-Belanda, yang menemukan tempat ini pada tahun 1837. Sebelumnya, tak ada yang berani menjamah kawasan puncak Gunung Patuha, karena masyarakat setempat pun menyebutnya sebagai leuweung ganggong-simagonggong (hutan yang mustahil didatangi manusia); tempat para karuhun dari kahyangan mengadakan pertemuan.

Penasaran dengan misteri yang menyelimuti “hutan terlarang” itu, dengan penuh keberanian Junghun menerobos hutan lebat Gunung Patuha, menyibak belukar membabat ilalang. Hingga akhirnya, ia temukan sebuah telaga berair putih, dengan kabut kelabu menari-nari di atasnya. Belakangan, Junghun, peranakan Jerman-Belanda itu, juga dikenal sebagai ahli lingkungan, karena kepeduliannya yang sangat tinggi akan kelestarian alam.

Telaga berair putih, yang kemudian disebut Kawah Putih itu, hakikatnya merupakan bekas kawah gunung berapi, yang muncul akibat letusan Gunung Patuha, sekitar abad 10-12. Meski telah ditemukan sejak 1837, namun masyarakat luas baru mengenalnya mulai tahun 1987, setelah PT Perhutani (Persero) Unit III Jabar dan Banten, mengelola kawasan ini sebagai salah satu obyek wisata di wilayah Kabupaten Bandung.

Obyek wisata ini selalu ramai dikunjungi orang, terutama di akhir pekan. Bukan cuma untuk menikmati keindahan Kawah Putih, tetapi juga untuk mandi air panas belerang, yang dialirkan dari salah satu kawah yang ada di kawasan ini. Bukan. Air panas itu bukan dari Kawah Putih, karena air di telaga Kawah Putih teramat dingin tatkala kita sentuh. Sedingin udara di sekitarnya, yang hanya beberapa derajat di atas nol. Sesekali ada angin yang sangat keras menerpa tubuh, memercikkan butiran-butiran es, bagaikan hujan salju.

Jika Anda berkunjung ke Kawah Putih, yang terletak di kawasan Ciwidey, sekitar 46 kilometer dari pusat kota Bandung, cobalah berdiri sejenak di tepi kawah. Tebarkan pandangan mata Anda ke arah kabut yang nyaris menutupi seluruh tepian telaga. Rasakan keindahannya. Anda akan menyaksikan sebuah lukisan alam yang sangat indah, yang keindahannya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Lukisan Sang Murbeng Alam, yang terbentang begitu luas, seakan tak berbatas cakrawala. Tanpa terasa kita akan menyebut namaNya dengan penuh kekaguman. Pada saat itu pula kita akan semakin sadar bahwa manusia ini teramat kerdil di tengah kebesaranNya.

Hanya beberapa detik, kita akan merasakan keheningan yang amat sangat. Keheningan yang penuh kedamaian. Di tengah kedamaian itu, kita seakan tidak merasakan keinginan apapun. Yang ada hanya rasa syukur tak terhingga kepada Sang Pencipta. Seperti inikah Surga? Kita pun merasa bukan apa-apa, karena kita hanyalah milikNya.

“Dan milik Allah-lah segala sesuatu yang terdapat di seantero langit dan bumi, dan Allah-lah Yang Menguasai segalanya. Sesungguhnya, dalam proses penciptaan langit dan bumi, serta dalam proses pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Orang-orang yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tidak sia-sialah segala sesuatu yang telah Engkau Ciptakan. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari siksa neraka’.” (Al-Quran, Surat Ali-Imran [3] ayat 189-191).